Pages

Minggu, 22 November 2015

TERBENTUKNYA KERAJAAN DOMPU

Dompu, sebuah Kota Kabupaten di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dulunya berawal dari wilayah sebuah Kerajaan,kemudian berubah menjadi Kesultanan.  Statusnya menjadi sebuah Kota  Kabupaten justru diperoleh karena nilai historisnya sebagai sebuah Kerajaan yang telah lama berdiri dan berdaulat.



Kerajaan Dompo (sebutannya di jaman dulu), ma Dompo-na (yang memotong) wilayah Bima dan Sumbawa. Sebagaian berpendapat inilah asal dari nama  Dompo.
Sebelum menjadi sebuah Kerajaan, di wilayah Dompu tersebar beberapa kelompok masyarakat yang mendiami lahan-lahan pertanian (Nggaro) dan di daerah-daerah pantai. Setiap kelompok masyarakat ini dikepalai oleh seorang Kepala Suku yang disebut  Ncuhi. Ncuhi-Ncuhi menyebar di seluruh wilayah Dompu antara lain Ncuhi Tonda, Ncuhi Soro Bawa, Ncuhi Hu'u (Ncuhi Iro Aro), Ncuhi Daha, Ncuhi Puma, Ncuhi Teri, Ncuhi Rumu (Ncuhi Tahira) dan Ncuhi Temba. Dari sinilah bermula Kerajaan Dompu berdiri, atas kesepakatan seluruh Ncuhi dari bagian pedalaman sampai daerah pesisir pantai dibentuklah Kerajaan Dompu dan sebagai Raja pertama (Sangaji) Dompu adalah Dewa Sang Kula


Tidak ada catatan tertulis baik dalam bentuk dokumen atau batu tulis (prasasti) yang bisa mengungkapkan kapan mulai terbentuknya Kerajaan Dompu.   Namun beberapa catatan sejarah yang menunjukkan keterkaitannya dengan keberadaan Kerajaan Dompu yang berdiri sejak lama adalah sebagai berikut :

- Dalam Atlas Sejarah dunia karangan Profesor Muhammad Yamin yang termuat di dalam Sejarah kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra sebagai Kerajaan pertama di   Indonesia sekitar tahun 600-an -1100, nama Dompo tercantum di dalam atlas (Riwayat perubahan nama dari Dompo ke Dompu terdapat di uraian berikutnya)

- Terdapat juga keterkaitannya dengan sejarah Kerajaan Majapahit (1293-1527). Keterkaitan yang dimaksud terdapat dalam bunyi Sumpah Palapa yang diucapkan oleh patih Gajah Mada, termuat dalam teks Jawa Pertengahan Pararaton :
 " Jika saya telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya( baru akan) melepaskan puasa"
Begitulah bunyi Sumpah Palapa yang menunjukkan keterkaitan Dompu sebagai salah  satu Kerajaan yang ingin ditaklukkan patih Gajah Mada
Itu berarti, bahwa telah ada kerajaan kuat di bagian Timur Nusantara yang diperhitungkan oleh Gajah Mada untuk ditaklukkan, yaitu Kerajaan Dompo.

Rupanya Gajah Mada tidak main-main dengan Sumpahnya. Pada tahun 1340, saat Kerajaan Dompu di bawah kepemimpinan Dewa Ma Wa a Taho, dikirimlah pasukan yang dipimpin oleh Senapati Nala dan dibantu oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Panglima Pasunggerigis. Pada penyerangan yang pertama ini pasukan Majapahit gagal mengalahkan pasukan Kerajaan Dompu.
Pada tahun 1357, kembali Majapahit mengirim pasukan. Kali ini dipimpin oleh  Panglima Soko dan dibantu juga oleh pasukan dari Bali yang dipimpin oleh Panglima Dadalanata. Untuk menghindari jatuhnya korban banyak seperti pada perang yang pertama, maka diputuskanlah untuk dilakukan duel antara Panglima Kerajaan Dompu dengan Panglima Kerajaan Majapahit. Duel ini ternyata dimenangkan oleh Panglima dari Kerajaan Majapahit, sehingga Kerajaan Dompu takluk di bawah kekuasaan Majapahit. Kemudian Panglima dari Bali Dadalanata diangkat menjadi Raja Dompu yang ke-8

Seiring dengan melemahnya Kerajaan Majapahit oleh konflik berkepanjangan perebutan kekuasaan di antara pewarisnya, pengawasan terhadap Kerajaan-Kerajaan bawahannya pun menjadi lemah.  Satu persatu Kerajaan-Kerajaan Kecil mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit, termasuk Kerajaan Dompu. 
Lepasnya dari kekuasaan Majapahit ditandai dengan dinobatkannya (12 September 1545) putra  Dewa Ma wa a Taho sebagai Raja Dompu yang ke 9 atau sebagai Raja Dompu I yang mendapat sebutan Sultan. Hal ini menjadi awal dimulainya era Kerajaan Islam sehingga disebut Kesultanan.
Sultan Syamsuddin yang bergelar Ma Wa a Tunggu telah terlebih dahulu memeluk agama Islam sebelum diangkat sebagai Sultan. Mendirikan istana Bata (Bata Ntoi) yang menyimpan cerita mistery. Beliau juga mendirikan masjid pertama di Dompu, tepatnya di Kampung Sigi, Karijawa.

Di masa penjajahan Belanda, Kerajaan Dompu tidak luput dari incaran pemerintah Belanda untuk dikuasai. Namun perlawanan Sultan dan Rakyatnya sangat berdarah darah, demi untuk tidak tunduk dibawah kekuasaan Belanda. Tercatat rakyat sampai harus memburu Sultannya sendiri bila ketahuan tanda-tanda adanya niat melakukan negosiasi dengan pemerintah Belanda. Perlawanan pun berakhir akibat dari takluknya Sultan Hasanuddin (Makassar) dengan dilakukannya perjanjian Bongaya (1667), yang berarti takluknya juga Kerajaan-Kerajaan di Pulau Sumbawa. Sebuah perjanjian damai, lebih tepatnya  Surat tanda takluk, karena isinya lebih dominan menguntungkan pihak Belanda.
Perlawanan Sultan dan rakyat Dompu tidak berhenti hanya dengan adanya surat perjanjian. Letup-letup kecil perlawanan masih sering muncul terutama pada saat Sultan Muhammad Sirajuddin memerintah. Keengganan Sultan untuk menempatkan personil Belanda dalam struktur pemerintahannya, menjadi alasan kuat bagi Belanda untuk menyingkirkan Sultan, karena dianggap telah melanggar perjanjian. Oleh sebab itulah Sultan Muhammad Sirajuddin dibuang ke Kupang beserta kedua putranya, putra Abdullah dan putra Abdul Wahab. Kedua putranya ini ikut dibuang karna Belanda khawatir akan timbul kekacauan di masa mendatang akibat dari adanya perebutan kekuasaan.
Untuk mengisi kekosongan  kepemimpinan di Kesultanan  Dompu, diangkatlah seorang pejabat selfbestuur Commisi Lalu Muhammad Saleh, yang sebenarnya berasal dari turunan Raja Dompu juga.

Ketika masa kependudukan Belanda berakhir, digantikan oleh kependudukan Jepang. Saat itu terjadi kefakuman kepemimpinan di Kesultanan Dompu karna Sultannya dibuang ke Kupang.  Maka oleh pemerintah Jepang Kesultanan Dompu digabung menjadi satu dengan Kesultanan Bima

Tidak lama setelah penggabungan itu, Jepang kalah dan meninggalkan Indonesia, disusul dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia. Situasi ini pun tidak disia-siakan oleh rakyat Dompu untuk menuntut kembali berdirinya Kesultanan Dompu. Maka dengan SK. Resident Timur No.1a tanggal 12 September 1947 Kesultanan Dompu dinyatakan berdiri kembali dan Muhammad Tajul Arifin Sirajuddin II, cucu dari Sultan Muhammad Sirajuddin dinobatkan menjadi Sultan Dompu ke-29 (Sultan terakhir).


Masa pemerintahan Sultan Muhammad Tajul Arifin II berakhir begitu dikeluarkannya peraturan  Undang-Undang No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pembentukan Pemerintah Daerah Swatantra Tk II. ini juga menandai masa berakhirnya era Kesultanan di Dompu. Kemudian berdasarkan Undang Undang No. 69 tahun 1956 menjadi Daerah Tk II Kabupaten sampai sekarang. Demikian sebagai bentuk penghormatan kepada Sultan Dompu yang terakhir, diangkatlah Muhammad Tajul Arifin Sirajuddin II menjadi Bupati I Dompu pada tanggal 1 Desember 1958 sampai dengan 30 April 1960.


 
@/ Berikutnya : Asal Usul Suku Dompu



 

4 komentar:

  1. terima kasih atas informasi yang di sharenya, karena dengan informasi awal ini saya mencoba menggali tentang kerajaan dompu.

    BalasHapus
  2. Sultan Abdul Wahab itu kakek buyut saya. Terimakasih atas informasinya, saya jadi lebih tahu mengenai sejarah.

    BalasHapus
  3. Terkait penjelasan Nurhaidah Saraila : “ Kerajaan Dompo (sebutannya di jaman dulu), ma Dompo-na (yang memo-tong) wilayah Bima dan Sumbawa. Sebagaian berpendapat inilah asal dari nama Dompo “ memberi pemahaman, kata “ DOMPU “ berasal dari kata “ DOMPO “. Tidak dijelaskan bagaimana kata “ DOMPO “ bisa berubah menjadi “ DOMPU “ kemudian kata “ DOMPU “ berubah menjadi “ ḎOMPU “ ( dengan fonem/konsonan / Ḏ / yang merupakan bentuk pengucapan post elveolar lateral atau apiko palatal implosive , antara /d/ dan /t/ ) dalam tuturan Dou Mbojo baik yang di kabupaten Bima/Kota Bima ataupun di kabupaten Dompu sendiri . Sampai sekarang, dalam komunikasi di kalangan internal Dou Mbojo sendiri TIDAK PERNAH mengucapkan kata “ DOMPU “ melainkan “ ḎOMPU “. Namun bila berkomunikasi eksternal dengan orang di luar Dou Mbojo, barulah kata “ DOMPU “ digunakan karena orang di luar Dou Mbojo sulit mengucapkan fonem/konsonan /Ḏ / . Berdasarkan fakta yang demikian, haruslah dikembalikan ke basis tradisional berbahasa Dou Mbojo, seharusnya “ ḎOMPU “ bukan “ DOMPO “ sebagai asal pengucapan kata “ DOMPU “ . Penyajian sejarah bukan hanya sekedar bertutur melainkan memberikan analisa. Bila benar kata “ DOMPU “ berasal dari kata “ DOMPO “ bagaimana analisa ilmiahnya sehingga konsonan /O/ menjadi /U / dan mengapa hanya konsonan /O/ yang kedua yang berubah menjadi /U/ ; mengapa konsonan /O/ pertama tetap bertahan ? . Kalau kedua konsonan /O / diubah menjadi /U / jadilah kosa kata “ DUMPU “ ; begitu pula ketika kata “ DOMPU “ berubah menjadi “ ḎOMPU “. Analisa kebahasaan ketika basis kata dikembalikan ke kata “ ḎOMPU “ sebagai asal kata “ DOMPU “ , satu hipotesis kebahasaan dihadirkan yaitu bermula dari kata “ ḎO OMPU “ dan lama kelamaan menjadi “ ḎOMPU “ kemudian menjad “ DOMPU “ dalam tuturan eksternal dengan orang di luar Dou Mbojo. Kata “ ḎO OMPU “ menunjuk arah lokasi tempat bermukim seorang tokoh karismatik yang terangkat dalam kata “ OMPU “ yang sepadan dengan kata “ EMPU “ dan biasa ditulis ; MPU seperti MPU GANDRING, MPU BARADA dan sebagainya. Hal-hal seperti ini perlu diangkat oleh para meninat sejarah local agar tersaji satu analisa sejarah kerajaan Dompu.

    BalasHapus
  4. Nurhaida Saraila menulis : " Sultan Syamsuddin yang bergelar Ma Wa a Tunggu telah terlebih dahulu memeluk agama Islam ...... ". Pertanyaan, apakah ada kosa kata " TUNGGU " atau " TUNGGUL " dalam bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ) ?. Jika ada, apa artinya ?. Kajian kata menunjukkan tidak pernah ada kata " TUNGGU " dalam bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ). Jangan diarahkan kepada kata " TUNGGU " dalam bahasa Indonesia. Ada versi penulisan. M.Jauffret menu-lisnya dengan " TUNGGU " dan versi Soenardhi menuisnya dengan "TUNGGUL" tanpa memahami maknanya. Keduanya tidak paham dengan kosa kata bahasa Bima (Nggahi Mbojo ). Ibu Siti Maryam R.Salahuddin ( alm.) menjelaskan kata "TUNGGU " berasal dari kata "TUNGGUL". Versi Khaerul Muslim menyajikan dua versi yaitu : " MA WA-A TUNGGU " dan " MA WA-A TONGGO ". Makna " TUNGGUL " yang diberikan yaitu " UNGGUL " ( versi Israel Muhammad Saleh - M.El Hayat ONG- Kaherul Muslim). Ibu Hj. Maryam R.Sa-lahuddin SH memberi makna berbeda yaitu jambul bendera.
    Kata " TUNGGUL " tidak ada dalam kosa kata bahasa Bima ( Nggahi Mbojo ). Perlu diketahui , dalam versi Naskah BO Bima, Sultan Syamdussin bergelar posthumous : RUMA MA-A TONGGO DESE, seperti yang ditulis Kharul Muslim dalam salah satu versi. Hal ini perlu menjadi masukan bagi peminat sejarah lokal Dompu. Banyak aspek sejarah kerajaan Dompu berada di luar rekaman para peminat sejarah lokal Dompu seperti konflik kerajaan Dompu dengan kerajaan tetangganya seperti kerajaan Sumbawa, kerajaan Tambora, kerajaan Sanggar, kerajaan Bima. Hal-hal seperti ini perlu diangkat jangan hanya soal Sumpah Palapa-nya Gajah Mada.

    BalasHapus